Live in Peace :)
10:24 PM
Saya terketuk menulis tentang ini ketika melihat maraknya kerusuhan SARA belakangan ini. Saya geram, saya benci, saya marah!! Sampai sebegitukah orang merasa dirinya benar? Sampai mengorbankan nyawa orang?
Biarkan saya sedikit bercerita.
Saya terlahir dari keluarga yang sangat plural tapi juga sangat taat beragama. Keluarga kakek-nenek dari ibu saya adalah keluarga pesantren. Keturunan kyai yang saya sendiri bingung menjelaskannya. Karena itu ibu mendidik saya dan adik-adik saya keras dalam agama.
Di sisi lain, keluarga bapak saya, terutama keluarga besar nenek saya adalah katholik taat. Almarhumah nenek saya yang cantik jelita adalah mualaf, beliau punya nama baptis. Adiknya ada yang menjadi biarawati.
Itulah yang membuat saya merasa bangga karena berbeda. Saya mendapat pendidikan agama yang keras sekaligus menghargai perbedaan di keluarga kami.
Itulah yang membuat saya sedih sekali. Kami sekeluarga begitu saling mencintai dan menghargai. Setiap lebaran, keluarga besar nenek tidak pernah lupa datang untuk sekedar mengucapkan selamat. Begitupun sebaliknya setiap natal. Kami pun sering dikirimi berbagai kue-kue natal. Ibu tidak pernah keberatan memberi selamat. Tidak takut haram memberi selamat. Menurutnya inilah bagian dari Hablumminannas (hubungan antar manusia).
Pernah ketika puasa, kami tepat berada di rumah saudara kami yang katolik. Kami pun dijamu berbuka. Kami juga dipersilahkan untuk solat magrib dan tarawih di rumahnya. Risihkah ibu? Tidak, beliau solat dengan biasa meskipun disana sini banyak terpajang salib. Menurutnya, dimanapun itu. Sholat ya sholat. Toh tempatnya juga suci, tidak ada bekas liur anjing.
Begitupun ketika nenek saya sempat kritis sekitar 2 bulan lalu. Adiknya yang biarawati (saya biasa memanggilnya Yang Selin, singkatan dari Eyang Franselin) datang bersama rombongan suster. beliau semua mengelilingi nenek saya yang tidak berdaya dan mendoakannya. Marahkah ibu dan bapak saya? Tidak. Yang Selin dan teman-temannya bermaksud baik, mendoakan kesembuhan nenek saya dengan caranya sendiri. Dengan cara yang dianggapnya benar.
Kami tidak pernah meributkan tentang perbedaan kami. Kami saling menyayangi. Memang ketika salah satu dari kami punya ’hubungan khusus’ dengan yang berbeda keimanan. Keluarga terdekatnya tetap saja tidak setuju. Tapi itu kan urusan berbeda. Pernikahan memang selayaknya dengan yang seiman. Sekali lagi, menurut ibu saya ini adalah perkara hablumminannas. Keyakinan islam sudah kami yakini sejak kami kecil, kami habiskan sore kanak-kanak kami dengan mengaji di TPA. Begitupun keluarga besar nenek saya.
Saya pun pernah masuk ke gereja, satu kali. Ketika saya mengikuti sakramen pernikahan tante saya. Saya penasaran setengah mati bagaimana ijab kabul ala katholik. Dan saya diberi kebebasan untuk itu. Yang lucu, bapak saya tertidur di gereja dengan posisi bersimpuh seperti orang berdoa. Hahahaha
Hal inilah yang menjadi kebanggaan saya, kemuarga saya punya tingkat toleransi antar umat beragama yang luar biasa. Pun ketika saya pernah dekat dengan seseorang yg beda agama, ibu memang agak menentang, tapi tidak terang-terangan, secara halus. Dia biarkan teman dekat saya itu datang ke rumah, membantu saya mengerjakan tumpukan PR fisika dan matematika. Dan mengijinkan kami keluar bersama teman-teman kami. Si kembar pun dekat dengan mereka, meskipun mereka mempertanyakan kalung salib yang dikenakannya J
Menurut saya agama adalah keyakinan kita, yang kita anggap benar. Satu yang saya tanggap ketika kuliah sosiologi budaya tidak ada sesuatu yang bisa kita nilai secara biner benar atau salah. Kita pun punya perspektif masing-masing untuk menilai kebenaran. Jadi kita tetap tidak bisa menganggap yang berbeda dengan kita itu salah.
Saya pernah disebut kafir, oleh orang-orang yang mengaku islam yang benar. Mau tau rasanya?? SAKIT!!! Lebih menyakitkan daripada patah hati!! Demi Allah....
Bayangkan yang saya yakini dari kecil, yang saya jalani sepanjang hidup saya dianggap salah!!! Oknum itupun tanpa ragu menuduh ibu saya salah. Tidak. Ibu saya tidak pernah salah mengajarkan tentang agama. Karena beliau tidak asal-asalan. Saya tau itu. Quran dan Hadist yang jadi petunjuknya. Saya yang disuruh membuktikan sendiri kalau saya tidak percaya.
Tidak perlu saya ceritakan detilnya, saya bertemu seseorang yang kemudian mengatai saya kafir. Saya ajak berdebat, dia mementahkannya. Saya benci pada diri saya yang tidak tau banyak soal agama. Dan yang kemudian saya lakukan saya melarikan diri, tapi saya ditahan tidak boleh pergi. Saya lalu menangis sejadi-jadinya. Di tempat umum mereka menenangkan saya, saya seperti kesetanan. Saya hanya ingin pulang, saya meronta dan menangis meraung-raung. Tidak rela apa yang saya lakukan ini dianggap salah, tidak terima saya dibilang kafir. Tidak terima apa yang diajarkan ibu saya dianggap sesat. Saya terus menangis dan menangis.
Dan akhirnya orang itu membiarkan saya pergi dengan syarat saya tidak boleh memberitahukan hasil pertemuan itu dengan siapapun. Saya mau berjanji, yang penting saya bisa pergi. Di perjalanan pulang saya masih menangis, sampai kos saya semakin menagis. Magrib itu sajadah saya penuh dengan air mata. Selepasnya saya cerna lagi kata-kata orang itu, lalu saya sadar kata-kata orang itu. Dia tidak solat, tidak usah saya jelaskan mengapa. Dari situ saya tau saya tidak sungguh2 kafir, dan akhirnya saya tenang. Seandainya saya masih punya kesempatan bertemu ingin sekali saya tampar mulutnya!!
Tulisan saya yang ngalor ngidul ini bermuara pada 1 hal. Saya termasuk korban SARA, dan itulah yang ingin saya sampaikan. Menyakitkan sekali ketika kita dibilang kafir atau sesat. Kalo yang mengatainya sih saya yakin cuek saja, tapi korbannya??
Saya yakin Nabi Muhammad SAW pun mengajarkan cinta kasih. Beliau punya paman yang tidak islam bukan? Apakah beliau membencinya? Tidak. Apakan beliau mengatai pamannya kafir? Tidak.
Beliau hanya marah pada orang-orang yang menyakiti agamanya, beliau hanya memerangi yang juga memerangi agamanya.
Saya sedih ketika seseorang dengan mudahnya mengatai orang lain kafir.
Saya hanya ingin negara ini damai, sedamai keluarga besar saya....
Post a Comment