Kitab Lontar Sutasoma Salinan I Wayan Muditadnana

Seorang tua yang masih penuh semangat, tulus dan ramah. Itulah yang saya tangkap ketika pertama kali bertemu beliau. I Wayan Muditadnana, seorang penulis naskah kuno diatas lontar.
Saya mengenalnya ketika berkunjung ke Tenganan, salah satu desa adat di Bali. Rumahnya sangat sederhana, seperti sebagaimana rumah di Tenganan pada umumnya, tanpa teras dan halaman. Memang saya tidak mengenalnya secara khusus, tapi Demi Tuhan saya baru mengetahui ada sosok semengagumkan itu tepat ketika saya melihat dan mendengar beliau membaca penggalan kitab sutasoma.
I Wayan Muditadnana

Awalnya beliau menceritakan ketertarikannya terhadap sejarah dan kitab-kitab kuno. Juga tentang gurunya dari belanda yang mengajarinya bahasa sansekerta (jujur saya miris mendengarnya). Berikut kecintaannya terhadap kitab-kitab itu, juga sedikit kegelisahannya karena beliau tidak punya penerus. Dan saya berpikir, haruskah besok anak-anak saya mempelajari warisan nenek moyangnya dari orang asing?
Pak Wayan sudah punya banyak karya, banyak sudah kitab yang ditulisnya lebih tepatnya disalin, banyak pula orang yang memesan dan membeli karyanya. Beliau sampai punya 4 buah buku khusus tamu yang datang memesan dan membeli berikut nota pembelian dan pengirimannya. Dengan semangatnya beliau bercerita kalau pernah ada orang yang ingin membeli buku catatan tamu itu, beliau tertawa-tawa karena heran untuk apa buku itu dibeli. Tapi tentu saja beliau tidak memberikannya hehehehe
Beliau rendah hati, tidak ingin disebut seniman, pujangga atau kata-kata bombastis sejenis. Karena menurutnya beliau melakukan pekerjaannya karena hobi (juga cinta dan ketulusan-yang ini menurut saya). Menurut ceritanya, beliau bangun jam 4 pagi dan langsung mulai bekerja, dengan lampu sorot cipataannya sendiri: lampu pijar dalam bola separuh yang dilapis semaram alumunium foil atau kertas timah (saya kurang tahu pasti). Tapi sampai saat ini pak Wayan membaca naskah-naskah tersebut tanpa bantuan kacamata. Luar biasa.
Ada satu karya yang jadi andalannya, yang sepertinya sampai kapanpun tidak akan diserahkan kepada siapapun: SUTASOMA. Yang di dalamnya memuat semboyan negara kita: Bhinneka Tunggal Ika. Sepenuh hati beliau menceritakan kepada semua tamu pada waktu itu, termasuk saya, mengenai kecintaannya terhadap karya itu. Dan dengan segenap kebanggaan penuh, karena tamunya mayoritas anak muda, beliau mengambil kotak berisi salinan kitab tersebut. Berbeda dengan karya-karya lainnya, Sutasomanya ditempatkan dalam kotak merah yang cantik, dimana di sisi-sisinya diukit bunga-bunga yang beliiau tulis dengan emas. Tulisan dalam lontar ditulis dengan kemiri yang dibakar. Beliau menyelesaikan itu dalam 2 tahun. Karya tulisan lontar itu tersusun dari potongan-potongan lontar berbentuk persegi panjang yang disatukan dengan tali di tengahnya.
 Kotak berisi salinan kitab Sutasoma

Cover salinan kitab Sutasoma

Dan seperti janjinya, beliau membacakan kitab bertuliskan tulisan sansekerta itu kepada kami. Membacanya bukan asal. Harus ada nadanya, seperti nembang (menyanyi) kalo dalam istilah jawa. Kata pak Wayan, cara membacanya HARUS seperti beliau, kalau tidak beliau tidak suka. Saya jadi ingat ibu saya yang sering memarahi saya kalau mengaji tidak dengan lagu yang enak, ibu saya suka kalo orang ngaji pake qira’ah gitu. Tapi saya kan gak bisa hahahahaha. Seperti itulah pak Wayan, membaca kitab Sutasoma dan kitab sansekerta lain juga harus ada lagunya.
Beliau membacakan bagian kitab yang mengandung kalimat Bhinneka Tunggal Ika, di halaman 115:

Rwãneka dhãtu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Šiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa,

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran

Demi Tuhan saya merinding mendengarnya, rasanya ingin menangis menyadari betapa besar warisan nenek moyang kepada kita. Setelahnya pak Wayan juga bercerita, kalau dulu Pak Karno pun mendalami kitab itu sehingga bisa merumuskan semboyan negara. Orang bali dulu biasa mengkaji kitab-kitab lama. Seperti anak-anak pesantren mendalami kitab kuning. Saya bingung bagian mana yang saya kagumi. Sutasoma, Pak Wayan, Bung Karno, atau ketiganya. Begitulah seorang pemimpin, tidak pernah melupakan sejarahnya.
Pada detik dimana pak Wayan membacakan kitab itu, saya tau saya semakin jatuh cinta, tapi saya bingung, pada siapa... tapi sepertinya saya positif mengagumi sosok tua penuh semangat di depan saya: I Wayan Muditadnana
Ingin berkunjung ke rumah beliau? Mudah saja, datang ke Tenganan, dari gerbang desa hanya sekitar 100-200m akan ada petunjung rumah pak Wayan.



P.s: Sejak KKN di borobudur tahun 2008 lalu, saya bertekad memberi nama anak saya dalam bahasa sansekerta, dan semenjak bertemu pak Wayan, tekad saya semakin bulat. Karena menurut saya bahasa sansekerta itu indah, agung, historikal, megah. Bagaimana Afret Nobel? Setuju? Hahahahahahaha

3 Responses
  1. Anonymous Says:

    hebat!!!!!!


  2. -Wardha- Says:

    Bagaimana kalau kunjungi beliau di tenganan? beliau ramah sekali loo,

    Terimakasih sudah berkunjung yaa :D


  3. Anonymous Says:

    kitab sutasoma itu disusun dalam bahasa kawi/jawa kuna
    bukan sansekerta
    walaupun memang 85% kosakata sansekerta dan kawi itu sama!!
    karena yg membuat bhs sansekerta juga orang nuswantara lah!!


Post a Comment